Selasa, 29 Desember 2015

Makalah Ushul Fiqh 'Am dan Khas

كلمة التمهيد
        الحمدلله ربّ العالمين، نحن نشكرالله شكرا جزيلا. الذي قد اعطينا نعمة كثيرة حتى نستطيع أن نجتمع فيهذالمكان المبارك. صلاة وسلاما دائمين متلازمين إلى نبي الكريم محمد صلى الله عليه وسلم الذى قد أخرج الناس من الظلمات إلى النور أو إلى صراط المستقيم.
وبعد نشكرالله تعالى على نعمه الذى أعطنا القوّة في إتمام هذه المقالة. ونشكر لزملائناالذين ساعدوا على هذه المقالة عن الكتب التى تتعلق في هذه المسألة, ولا ننسى أيضا أن نشكر لأستاذة الدكتورندا. مارياني، الماجستير، الماجستير التى قد وهب لنا هذه الفرصة في تقديمها إليكم بالموضوع " الإستثناء" ونطلب منكم العفو إن وجدتم الخطاء والكلمة لا تناسب مكانها لأننا نتعلم في هذه الدرس. وأخرا, جزاء كم الله خيرالجزاء. والحمدلله ربالعالمين.

                                                               

 بنجر ماسين, 25 نوفمبير 2015 م

                            
 الباحث      
                             



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dalam ilmu ushul fiqih pembahasan lafal ‘Am dan khash mempunyai kedudukan tersendiri, Karen lafal‘Am dan khash mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Dari sisi lain sumber hukum Islam pun, Alquran dan Sunah dalam banyak hal memakai lafal yang umum dan khusus. Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam memberikan definisi atau pengertian tentang lafal‘Am dan khash. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Maka dari  itu pentingnya makalah ini kita akan bahas mengenai hal tersebut agar menjadi pengetahuan bagi kita calon seorang guru.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Al-‘Am Dan Al-Khas
2.      Apa Saja Sigat Al-‘Am
3.      Apa Saja Dilalah Al-‘Am Dan Al-Khas
4.      Ada Saja Macam-Macam Al-‘Am Dan Khas
5.      Apa Saja Sifat-Sifat Lafaz Al-Khas

C.     Tujuan Penulisan
1.      Mahasiswa Mampu Menyebutkan Pengertian Tentang Al-‘Am Dan Al-Khas
2.      Mahasiswa Mampu  Menyebutkan  Apa Saja Sigat Al-‘Am
3.      Mahasiswa Mampu Menyebutkan Tentang Apa Saja Dilalah Al-‘Am Dan Al-Khas
4.      Mahasiswa Mampu Menyebutkan Apa Saja Macam-Macam Al-‘Am Dan Khas
5.      Mahasiswa Mampu Menyebutkan Apa Saja Sifat-Sifat Lafaz Al-Khas.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-‘Am Dan Al-Khas
Lafaz-lafaz dalam setiap bahasa ada yang kandungannya mencakup banyak satuan dan ada juga yang terbatas. Dari sini lahir istilah ‘am dan khas.[1]
`           1. Pengertian ‘AM
Menurut ulama Syafi’iyah:اللفظ الواحد الدّال من جهة واحدة على شيئين فصاعدا          
Artinya: Satu lafal yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih. [2]
Menurut ulama Hanafiyah:كل لفظ ينتظم جمعا سواء أكان باللفظ او بالمعنى
Artinya: Setiap lafal yang mencakup banyak, baik secara lafal maupun makna. [3]
                        Menurut Al-Bazdawi: اللفظ المستغرق جميع ما يصلح له بوضع واحد  
Artinya: Lafal yang mencakup semua yang cocok untuk lafal tersebut dengan satu kata. [4]
Lafal ‘Am ialah suatu lafal yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. [5]
Menurut bahasa  artinya merata, yang umum, sedang menurut istilah ialah:
اللفظ المستغرق لجميع ما يصلح له بحسب وضع واحد دفعة     
Artinya: lafazh yang meliputi pengertian umum , terhadap semua apa yang termasuk pengertian lafazh itu, dengan hanya disebut sekaligus.
Dengan pengertian lain Am adalah suatu perkataan yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya: al insan yang berarti manusia . Perkataan ini memiliki pengertian umum , jadi semua manusia termasuk dalam perkataan ini. Sekali mengucapkan kata al insan sudah meliputi manusia seluruhnya.[6]
Menurut Al Amidi, seorang ulama madzhab syafii, bahwa lafal umum ialah: هو للفظ الوحد الدال على مسميين فصا عدا مطلقا معا
Artinya: suatu lafal yang menunjukan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlaq, hakekat dari definisi ini ialah lafal yang terdiri dari satu pengertian secara tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian. [7]
Pendapat lain mengatakan bahwa lafaz ‘Am yaitu suatu lafaz yang digunakan untuk menunjukan suatu makna yang pantas atau boleh dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Misal arrijal lafazh ini meliputi semua laki laki.[8]
Menurut pendapat yang lain lagi bahwa ‘Am dalam arti kebahasaan adalah menyeluruh, dalam pandangan ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan istilah am adalah kata yang memuat seluruh bagian dari kandungan lafaz, sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain.
Pada intinya semua pengertian tentang ‘Am tersebut diatas mempunyai maksud yang sama, Jadi dapat kita simpulkan bahwa ‘Am ialah “Lafaz yang meliputi pengertian umum, terhadap semua apa yang termasuk dalam pengertian lafaz itu, dengan hanya disebut sekaligus.”
B.     Sigat Al-‘Am
Ada banyak kata dan bentuknya (shigat) yang dapat digunakan untuk menunjukan keumuman sesuatu, yaitu
1.      Kata Kullu atau Jami atau yang semakna denganya, seperti firman Allah :
كُلُّ ٱمۡرِيِٕۢ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ  
Artinya :  Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS Ath Thur: 21).  خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا   
Artinya : Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semuanya. ( QS. Al Baqarah: 29).
2.      Isim yang berbentuk jamak dan menggunakan “AL” Al Jins, seperti kata Al- Muminun dalam firman Allah : قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ  
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.(Q.S Al Muminun: 1)
3.      Bentuk tunggal yang menggunakan “Al” Al-Istighraqy, yakni yang menunjuk pada ketercakupan semua bagiannya, seperti kata Al-Bai’ dan Ar Riba pada firman Allah :  وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ    
Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S Al Baqarah: 275)
4.      Bentuk Nakirah dalam konteks larangan, seperti : kata ahad berbentuk nakirah, sedang sebelumnya ada larangan la tushalli. وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٖ مِّنۡهُم مَّاتَ أَبَدٗا   
Artinya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka. (Q.S At Taubah: 84).
5.      Asma Al-Maushul, yakni ma, man, al-ladzi, seperti firman Allah:
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُم
Artinya: … Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (itu). (Q.S An Nisa: 24).
6.      Asma As-Syareth (man, ma, dan ayyun), seperti: فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُ 
Artinya: ... Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.... (Q.S Al Baqarah: 185)
7.      Asma Al-Istifham (man, ma, aina, ayyun, dan mata), seperti :
مَّن ذَا ٱلَّذِي يُقۡرِضُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗا   
Artinya: Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. (Q.S Al Hadid: 11).
8.      Jama’ yang menjadi makrifah karena idhafah seperti kata ummahaatukum dalam firman Allah: حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;  (Q.S An Nisa: 23).
Kata ummahat adalah bentuk jamak dari kata um, lalu diidhofahkan kepada kum. [9].

C.    Dilalah Lafaz Al ‘Am
Para ulama sepakat bahwa lafaz am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takshis adalah qathi dilalah. Merekapun sepakat bahwa lafaz am disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafaz ‘Am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takshis, atau berlaku umum yang mencakup satuan satuannya.[10]
Menurut Hanafiyah dilalah ‘Am itu qathi, yang dimaksud Qathi ialah Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil. Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan adanya takshis sama sekali. Oleh karena itu , untuk menetapkan ke qathi an lafaz am, pada mulanya tidak boleh di takshis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takshis maka dilalahnya Zhanni.[11]
Mereka beralasan, Sesungguhnya suatu lafaz apabila dipasangkan pada suatu makna, maka makna itu berketatapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya, lebih tegas lagi mereka mengatakan : Sesungguhnya lafaz ‘Am merupakan suatu hakikat, karena kosong dari segala yang menunjukan satu makna khusus. Dan jika suatu lafaz, jika dalam keadaan mutlak, maka menunjukan pada maknanya yang hakiki, yakni mutlak. Begitu pula lafaz ‘Am yang mutlak dari suatu indikasi tentang kekhususannya menunjukan pada makna umum, dan tidaklah berubah dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan dalil.[12]
Menurut jumhur ulama ( Malikiyah, Syafi iyah, dan Hanabilah), dilalah ‘Am adalah zhanni. Meraka beralasan, dilalah ‘Am itu termasuk bagian dilalah dzhahir, yang mempunyai kemungkinan di takshis. Dan ini pada lafaz ‘Am banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan dilalahnya qathi. Sehubungan dengan hal itu, Ibnu Abbas berkata: Artinya: Dalam Al Quran semua lafaz umum itu ada takshisnya, kecuali firman Allah, Dan Allah maha Mengetahui atas segala sesuatu.
Oleh karena itu, mereka mengeluarkan suatu kaidah yang berbunyi, yang Artinya : Tidaklah ada lafaz yang umum kecuali sudah ditakshis.
            Ulama Hanafiyah membantah alasan jumhur, Kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara, bukan dari dalil.
            Dari kedua sikap ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi mereka masing masing. Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada perdebatan diantara mereka dalam beberapa masalah, yaitu diantara lain:
a.       Apakah boleh lafaz ‘Am yang qathi tsubut di takshih oleh dalil zhanni?
b.      Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafaz ‘Am di suatu tempat dan ditempat lain menggunakan lafaz khas, yang satu dengan yang lainnya bertentangan. Apakah hal ini bisa dikatakan sebagai ta’ar bahwa ud (saling bertentangan)?[13]
Pada masalah pertama menurut Asy Syafiiyah dan Ahmad, apabila pertentangan antara lafaz khas yang terdapat pada khobar ahad dengan lafaz ‘Am Al-Qur’an, maka khabar ahad itu bisa mentakshis lafaz ‘Am Al-Qur’an. Sekalipun lafaz ‘Am Al-Qur’an itu qathi tsubutnya, dilalahnya zhanni. Sebaliknya, khas khobar ahad sesungguhnya zhanni tsubutnya, tetapi qathi dilalahnya, menurut pendapat ini As sunah dipandang sebagai penjelasan terhadap Al-Qur’an, walaupun khobar ahad.[14]
Menurut Hanafiyah khobar ahad tidak dapat mentakshis Al-Qur’an kecuali lafaz ‘Am Al-Qur’an itu sebelumnya telah terkena takshis. Mereka memandang bahwa dilalah ‘Am itu qathi, sepert yang telah diuraikan dimuka, dan takshis bukan merupakan suatu penjelasan, melainkan pembatalan pemakaian sebagian satuan lafaz ‘Am, mereka menetapkan bahwa pada lafaz ‘Am itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan. Oleh sebab itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena ayat mengenai wudhu, yaitu surah Al Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu karena berdasar hadis yang berbunyi, Artinya : Allah tidak menerima sholat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya ( tertib pelaksanaannya ), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya.
Hadis ini menunjukan keharusan tertib dalam berwudhu. Hanafiyah memandang tertib itu hanya sunah muakkad saja (Abu Zahrah: 159).[15]
Lain halnya Imam Malik, Sungguhpun memandang bahwa lafaz ‘Am Al Quran adalah Zhanni, ia tidak selamanya menjadikan khobar ahad dapat mentakshis lafaz ‘Am Al-Qur’an. Ia kadang kadang berpegang pada lafaz ‘Am Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang kadang men takshis lafaz ‘Am Al-Qur’an dengan khobar ahad.
Misalnya firman Allah, yang artinya : Dan Allah menghalalkan (menikah) selain itu (yang telah disebut) di takhshis dengan hadis yang artinya: Wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.
Menurut imam Malik, khabar ahad yang men takshis lafaz ‘Am Al-Qur’an ialah khabar ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan Qiyas.[16]
Diantara masalah furu yang dipersilahkan akibat perbedaan prinsip diatas ialah halal tidaknya memakan binatang hasil sembelihan tanpa memakai bismillah.
Menurut Hanafiyah sembelihan tanpa disertai dengan ucapan bismillah tidak halal dimakan, mereka berpegang pada ayat:
وَلَا تَأۡكُلُواْ مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٞۗ  
Artinya:  Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. ( Q.S Al An’am : 121).
Mereka tidak mau mentakshisnya dengan hadis Rasul yang berbunyi, Artinya: Seorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah( ucapkanlah bismillah) atau tidak. ( H.R Abu Daud). Sebab hadis ini zhanni wurudnya sekalipun qathi dilalahnya.[17]
D.    Macam-Macam Al-‘Am
             Para ulama dalam hal ini membagi ‘Am menjadi tiga kategori:
1)      Al ‘Am Al Istighraqy, yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat dicakupnya tanpa kecuali, sehingga semua disentuh olehnya, misal: ketentuan tentang kewajiban wanita yang bercerai untuk melaksanakan iddah (masa tunggu) selama tiga quru (suci atau haid). Ketentuan ini berlaku untuk segala bentuk perceraian, kecuali jika ada petunjuk lain yang mengecualikan salah satu bentuknya. Contoh lain misalnya kata An-nas atau manusia dalam firman Allah :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ  )البقرة :21)
Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.[18]

2)      ‘Am Majmuiy, yakni yang tidak mencakup keseluruhan bagian bagiannya satu demi satu, tetai secara umum saja. Misalnya : kewajiban mempercayai nabi nabi yang di utus allah, jumlah mereka banyak, namun dua puluh lima nabi yang disebut nama namanya dalam al-Quran sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi yang banyak sekali.[19]
3)      Al ‘Am Al Badaly, yakni yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang dicakup oleh lafaz itu. Misalnya : perintah untuk bernafkah kepada fakir miskin. Memberi seorang siapa saja dari siapapun yang berstastus fakir miskin, sudah cukup. Karena memang lafaz umum di sini adalah al am badaly.[20]
Ditetapkan dengan ketetapan nash bahwa ‘am itu terbagi tiga, yaitu:
1)      ‘‘Am yang dimaksud dengan secara qath’i umum, yaitu ‘‘Am yang didampingi oleh qarinah, menafikan sasaran yang ditaksishkan. Seperti:
وجعلنا من الماء كل شيء حيّ
2)    ‘Am yang dimaksud dengan secara qath’i khusus, yaitu apa yang didampingi dengan qarinah, pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan maksud sebagian dari ifradnya itu. Sepert: ولله على الناس حجّ البيت
3)    ‘Am makhsus, yaitu ‘am muthlak yang tidak didampingi oleh qarinah, meniadakan hal-hal yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang menafikan dalilnya terhadap umum. Misalnya kebanyakan nash yang terdapat padanya sighat umum. Terlepas dari qarinah-qarinah lafdziah atau aqliah atau harfiah yang menyatakan umum, sebelum dikemukakan dalil untuk mentakhsisnya. Misalnya, perempuan-perempuan yang ditalak oleh suaminya harus menunggu (iddah).
Kata Syaukani dalam memperbedakan antara ‘Am maksudnya khusus dan ‘Am yang dikhususkan. ‘Am yang dimaksud dengannya khusus yaitu ‘Am yang mendampinginya ketika mengucapkan kata. Yaitu qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimksudnya itu adalah khusus. Umpamanya pembicaraan yang dipaksakan berbentuk umum. Yang dimaksud dengan ‘‘Am di sini adalah khusus dari mereka yang ahli untuk dipaksa menurut kehendak akal. Tidak termasuk kedalam ini hal ini orang-orang tidak mukallaf. Misalnya firman Tuhan:
تدمّركلّ شيئ بأمر ربّها[21]
2. Pengertian Khas
Khas adalah lawan kata dari ‘Am atau dengan kata lain khas adalah lafaz yang tidak bisa digunakan mengikutsertakan banyak satuannya. Firman allah yang menetapkan masa tunggu wanita yang hamil sampai dengan kelahiran anaknya , merupakan lafaz yang khusus untuk wanita yang demikian itu halnya. Tidak mencakup selainnya.[22]
            Pengertian yang lain khas (pengkhususan) ialah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan keumuman ialah sebagian yang diliputinya. Telah dijelaskan bahwa am itu meliputi seluruh objeknya.[23]
هو اللفظ الموضوع لمعنى واحد معلوم على الإنفراد
Artinya: Suatu lafal yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.
            Menurut Al-Badawi, definisi khash adalah:
كل لفظ وضع لمعنى واحد على الإنفراد وانقطاع المشاركة
Artinya: Setiap lafal yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna yang lain (musytarak). [24]
Dengan definisi di atas, ia mengeluarkan lafal mutlaq dan musytarak dari lafal khash, dan bukan pula bagian dari lafal ‘Am. Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama Syafi’iyah[25].Dikatakan pula Khas adalah lafaz yang tidak mencakup pada lebih banyak dari satu, atau mencakup pada lebih dari satu akan tetapi dengan adanya batasan.[26]
Jadi, pengertian Khas dari bebagai pendapat di atas adalah memiliki maksud yang sama, yakni kebalikan dari ‘Am yakni lafaz yang tidak bisa mencakup secara sekaligus terhadap perkara yang lebih dari satu tanpa menunjukan atas batasan.
A.    Macam-Macam Khas
1)      Khash Syakhshi, seperti nama-nama alam:زيد بن محمّد
2)      Khash Nuu’, seperti: الإنسان  = ialah suatu lafal yang menunjukkan makna bagi seorang laki-laki yang sudah balig.
3)      Khash Jinsi, seperti: الإنسان= hewan yang berfikir/berbicara. Itulah hakikatnya.
4)      Lafal yang mempunyai beberapa makna bagi zat, seperti  :[27]
B.     Dilalah Lafaz Khash  
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafaz khas adalah qathi. Namun mereka berbeda pendapat dalam sifat keqathiannya itu, apakah lafaz khas yang dipandang qathi dilalahnya itu sudah jelas dengan sendirinya. Sehingga tidak mempunyai penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafaz khas itu qathi dilalahnya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.[28]
            Golongan Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan, Sesungguhnya lafaz khas sepanjang telah memilki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafaz itu sendiri. Seandainya lafaz khas itu masih mempunyai kemungkinan peruabahan dengan penjelasan lain, pasti keadaan penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah tertolak. Sedangakan kedaunya ini tidak bisa diterima.[29]
Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu:
1.      Mereka menetapkan bahwa lafaz khas itu tidak memerluka penjelasan lain, sehingga dalam mengambil hukum dari satu dilalah khas, mereka tidak mengambil hadis hadis yang berhubungan dengan penjelasan lafaz khas sebagai pembantu untuk penjelasannya, karena menurut mereka, dilalah khasas itu tidak memerlukan penjelasan lain.
2.      Karena mereka menyatakan bahwa lafaz khas Al-Qur’an itu qathi dilalahnya dan tidak memerlukan penjelasan, maka setiap perubahan hukum denga nash lain dipandang sebagai penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu nasikh harus sama kekuatan dilalahnya dengan khas yang dihapus dilalahnya ( mansukh). Dengan demikian, apabila tidak sama kekuatan dilalahnya, maka tidak bisa diterima, konsekuensinya lafaz khas yang qathi itu tidak bisa dihapus denga hadis ahad.
Golongan Jumhur ulama, antara lain : Syafiiyah dan Malikiyah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafaz khas itu dilalahnya qathi, namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha nya (asal pemasangannya), sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilalah khas itu, maka ia dipandang sebagaia penjelasan terhadap lafaz khas itu[30], dari sikap ini dapat diambil kesimpulan yang berbeda, dengan pendapat pertama, yakni :
1.      Nash khas menerima penjelasan dan perubahan
2.      Lafaz khas Al-Qur’an menurut pandangannya tetap menerima penjelasa dan perubahan. Maka ia dipandang sebagai lafaz mujmal. Oleh sebab itu, Lafaz khas mungkin saja berubah melalui penjelasan, sungguhpun penjelasan itu kekuatan dilalahnya dari segi tsubut lebih rendah dari kekuatan khas itu sendiri, seperti hadis ahad.
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khas tersebut berpengaruh tehadap beberapa masalah fiqh, misalnya pengertian ruku’ pada ayat :
وَارْ كَعُوْا مَعَ الرّاكِعِيْنَ
            Artinya: Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’
Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku dalam shalat itu bagaimana Lafaz khas untuk suatu perubahan yang ma’lum, yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan bahwa ruku yang diperintahkan pada ayat itu dan merupakan bagian fardhu sholat adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah.[31]
Adapun hadis yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah:
 Berdirilah dan sholatlah karena engakau belum sholat.”
Tuma’ninah itu bukan syarat sah shaolat, menurut mereka seandainya tuma’ninah itu syarat sah sholat, berarti merupakan penambahan atas lafaz khas Al-Qur’an yang jelas. Dengan sendirinya hal itu termasuk penambahan khobar ahad. Dan berarti sebagai khobar nasakh, sedangkan penghapus harus sama kekuatan dilalahnya dari segi wurud dengan mansukhnya. Padahal hadis ahad itu tidak sama kekuatan khas Al-Qur’an yang qathi, sehingga mereka tidak mensyaratkan tuma’ninah sebagia syarat ruku’. Dengan kata lain, mereka tidak menjadikan tuma’ninah sebagai fardhu. Tegasnya yang fardhu itu rukunnya, bukan tuma’ninahnya.[32]
Golongan Syafiiyah memandang bahwa lafaz khas itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari segi ini mereka mamandang lafaz khas itu sebagai lafaz mujmal. Oleh sebab itu mereka menerima kemungkinan adanhya perubahan atas lafaz khas yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan hadis ahad yang merupakan penjelasannya. Maka menurut golongan ini tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dan termasuk fardhu dalam ruku’.[33]


C.    Sifat-Sifat Lafaz Al-Khas          
Sebelum bicara sifat khas, terlebih dahulu mengenal macam lafaz khas  yang mempunyai banyak bentuk, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafaz itu sendiri, ia kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang berentuk amr dan kadang berbentuk nahy. Dengan demikian macam macam lafaz khas mencakup : mutlaq, muqayyad, amr, dan nahy.[34]
Lafal yang terdapat  pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka keqath’ian dilalahnya tidak terpengaruhi.[35]
Oleh karena itu, apabila lafal khash dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan apapun, maka lafal itu memberi faedah katetapan hukum secara mutlak, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafal itu dikemukan dalam bentuk perintah, maka ia memberi faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafal itu dikemukan dalam bentuk larangan (nahyi), ia memberikan faedah  berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.[36]
Atas dasar itu, maka kata salah satu pada firman Allah SWT:
فمن لم يجد فصيام ثلاثة ايام
Mengandung pengertian khash, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafal itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah qatiyah.[37]


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Menurut bahasa ‘Am artinya merata, yang umum, sedang menurut istilah ialah:  lafazh yang meliputi pengertian umum , terhadap semua apa yang termasuk pengertian lafazh itu, dengan hanya disebut sekaligus.
Sedangkan Khas adalah lawan kata dari ‘Am, Setiap lafal yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna yang lain (musytarak).
2.      Shigat ‘Am
1)      Kata Kullu atau Jami
2)      Isim yang berbentuk jamak dan menggunakan “AL” Al Jins
3)      Bentuk tunggal yang menggunakan “Al” Al-Istighraqy
4)      Bentuk Nakirah dalam konteks larangan
5)      Asma Al-Maushul, yakni ma, man, al-ladzi
6)      Asma As-Syareth (man, ma, dan ayyun)
7)      Asma Al-Istifham (man, ma, aina, ayyun, dan mata),
8)      Jama’ yang menjadi makrifah karena idhafah
3.      Dilalah Al-‘Am Dan Al-Khas
Dilalah ‘Am, Para ulama sepakat bahwa lafaz am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takshis adalah qathi dilalah. Merekapun sepakat bahwa lafaz am disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.
Dilalah Khas, Para ulama sepakat bahwa dilalah lafaz khas adalah qathi. Namun mereka berbeda pendapat dalam sifat keqathiannya itu, apakah lafaz khas yang dipandang qathi dilalahnya itu sudah jelas dengan sendirinya. Sehingga tidak mempunyai penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah  sekalipun lafaz khas itu qathi dilalahnya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.




4.      Macam-Macam Al-‘Am dan Khas
‘Am terbagi atas:
1)      ‘Am Majmuiy, yakni yang tidak mencakup keseluruhan bagian bagiannya satu demi satu, tetapi secara umum saja.
2)      Al ‘Am Al Badaly, yakni yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang dicakup oleh lafaz itu.
3)      Al ‘Am Al Istighraqy, yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat dicakupnya tanpa kecuali.
Khas terbagi atas:
1)      Khash Syakhshi, seperti nama-nama alam:زيد بن محمّد
2)      Khash Nuu’, seperti: الإنسان  = ialah suatu lafal yang menunjukkan makna bagi seorang laki-laki yang sudah balig.
3)      Khash Jinsi, seperti: الإنسان= hewan yang berfikir/berbicara. Itulah hakikatnya.
4)      Lafal yang mempunyai beberapa makna bagi zat, seperti :عِلْمٌ
5.      Sifat-Sifat Lafaz Al-Khas
Apabila lafal khash dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan apapun, maka lafal itu memberi faedah katetapan hukum secara mutlak, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafal itu dikemukan dalam bentuk perintah, maka ia memberi faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafal itu dikemukan dalam bentuk larangan (nahyi), ia memberikan faedah  berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.






DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat Ayat Al Quran), Tangerang: Lentera Hati, 2013.

Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, M.A, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung; Cv Pustaka Setia, 2010.
Drs, Moh Rivai, Ushul Fiqh, Cet. 6, Bandung: PT Al Maarif, 1993.
Prof. Dr. Amir Syarifudin, Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Konfrehensife, Jakarta, Zikrul Hakim, 2004.

Drs. Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Cet. 1 , Jakarta, PT Rajawali Pres, 1993.
Syekh Abdul Wahad Khallaf, Ilmu Usul Fikih, Jakarta; PT. Rineka Cipta, 1993.
Syekh Muhammad Al Khudhori Beik, Terjemah Ushul Fiqh 1, Pekalongan: Raja Murah, 1982.
M. Kholid Afandi Dan Nailul Huda, Dari Teori Ushul Menuju Fiqh Ala Tashil Ath Thuruqat, Kediri: Santri Salaf Press, 2013.
Muhammad Hilmi Dan Muhammad Ludrianoor, Makalah ‘Am Dan Khas Dalam Buku Drs. H.Kahur Masyhur, IAIN Antasari Banjarmasin: 2012.



[1] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat Ayat Al Quran), (Tangerang: Lentera Hati, 2013) Hal 179-183
[2]  Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung; Cv Pustaka Setia, 2010), Hal 193.
[3]  Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 193.
[4]  Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 193.
[5]  Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 193.
[6] Moh Rivai, Ushul Fiqh ( Bandung: PT Al-Maarif,1993, ) Cet Ke 6, Hal 46
[7] Amir Syarifudin, Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Konfrehensife ( Jakarta, Zikrul Hakim, 2004), Hal 130
[8] Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, ( Jakarta, PT. Rajawali Pres, 1993) Cet. 1 Hal 190
[9] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir-Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat Ayat Al Quran, (Tangerang: Lentera Hati, 2013) Hal 179-183
[10] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 194
[11] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 194
[12] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 194
[13] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 196
[14] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 196
[15] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 198
[16] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 198
[17] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 198
[18] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hal 179-180
[19] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hal 180
[20] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hal 179-183
[21] Syekh Abdul Wahad Khallaf, Ilmu Usul Fikih, (Jakarta; PT. Rineka Cipta, 1993), Hal 229-233.
[22] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hal 179-183
[23] Syekh Muhammad Al Khudhori Beik, Terjemah Ushul Fiqh 1 ( Pekalongan, Raja Murah, 1982) Hal 211
[24] Syekh Muhammad Al Khudhori Beik, Terjemah Ushul , Hal 211
[25] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 187.
[26] M. Kholid Afandi Dan Nailul Huda, Dari Teori Ushul Menuju Fiqh Ala Tashil Ath Thuruqat  (Kediri, Santri Salaf Press, 2013) Cet. 1 Hal. 137
[27] Muhammad Hilmi dan Muhammad Ludrianoor, Makalah Am dan Khas dalam buku Kahur Masyhur ( IAIN Banjarmasin, 2012) hal 10
[28] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 189
[29] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 189
[30] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 190
[31] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 191
[32] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 191
[33] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 192
[34] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 187-189
[35] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 187
[36] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 188
[37] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 188

1 komentar: