كلمة التمهيد
الحمدلله ربّ العالمين، نحن نشكرالله شكرا جزيلا. الذي قد
اعطينا نعمة كثيرة حتى نستطيع أن نجتمع فيهذالمكان المبارك. صلاة وسلاما دائمين
متلازمين إلى نبي الكريم محمد صلى الله عليه وسلم الذى قد أخرج الناس من الظلمات
إلى النور أو إلى صراط المستقيم.
وبعد نشكرالله تعالى على
نعمه الذى أعطنا القوّة في إتمام هذه المقالة. ونشكر لزملائناالذين ساعدوا على هذه
المقالة عن الكتب التى تتعلق في هذه المسألة, ولا ننسى أيضا أن نشكر لأستاذة
الدكتورندا. مارياني، الماجستير، الماجستير التى قد وهب لنا هذه الفرصة في تقديمها
إليكم بالموضوع " الإستثناء" ونطلب منكم العفو إن وجدتم الخطاء والكلمة
لا تناسب مكانها لأننا نتعلم في هذه الدرس. وأخرا, جزاء كم الله خيرالجزاء.
والحمدلله ربالعالمين.
بنجر ماسين, 25 نوفمبير 2015 م
الباحث
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
ilmu ushul fiqih pembahasan lafal ‘Am dan khash mempunyai
kedudukan tersendiri, Karen lafal‘Am dan khash mempunyai tingkat yang luas
serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Dari sisi
lain sumber hukum Islam pun, Alquran dan Sunah dalam banyak hal memakai lafal
yang umum dan khusus. Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam memberikan
definisi atau pengertian tentang lafal‘Am dan khash. Namun, pada hakikatnya
definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Maka dari itu pentingnya makalah ini kita akan bahas
mengenai hal tersebut agar menjadi pengetahuan bagi kita calon seorang guru.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian
Al-‘Am Dan Al-Khas
2. Apa Saja Sigat
Al-‘Am
3. Apa
Saja Dilalah Al-‘Am Dan Al-Khas
4. Ada
Saja Macam-Macam Al-‘Am Dan Khas
5. Apa
Saja Sifat-Sifat Lafaz Al-Khas
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa Mampu Menyebutkan Pengertian Tentang
Al-‘Am Dan Al-Khas
2. Mahasiswa Mampu Menyebutkan Apa Saja Sigat Al-‘Am
3. Mahasiswa Mampu Menyebutkan Tentang Apa Saja
Dilalah Al-‘Am Dan Al-Khas
4. Mahasiswa Mampu Menyebutkan Apa Saja Macam-Macam
Al-‘Am Dan Khas
5. Mahasiswa Mampu Menyebutkan Apa Saja Sifat-Sifat
Lafaz Al-Khas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-‘Am Dan Al-Khas
Lafaz-lafaz dalam setiap bahasa ada yang
kandungannya mencakup banyak satuan dan ada juga yang terbatas. Dari sini lahir
istilah ‘am dan khas.[1]
` 1. Pengertian ‘AM
Menurut ulama Syafi’iyah:اللفظ الواحد الدّال من جهة واحدة على شيئين فصاعدا
Artinya: Satu
lafal yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih. [2]
Menurut ulama Hanafiyah:كل لفظ ينتظم جمعا سواء أكان باللفظ او بالمعنى
Artinya:
Setiap lafal yang mencakup banyak, baik secara lafal maupun makna. [3]
Menurut Al-Bazdawi: اللفظ المستغرق جميع ما يصلح له بوضع واحد
Artinya: Lafal yang mencakup semua yang cocok untuk lafal
tersebut dengan satu kata. [4]
Lafal ‘Am ialah suatu lafal yang menunjukkan satu makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. [5]
Menurut bahasa artinya
merata, yang umum, sedang menurut istilah ialah:
اللفظ المستغرق لجميع ما يصلح له بحسب وضع واحد دفعة
Artinya: lafazh yang meliputi pengertian
umum , terhadap semua apa yang termasuk pengertian lafazh itu, dengan hanya
disebut sekaligus.
Dengan pengertian lain ‘Am adalah suatu perkataan yang memberi
pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu
dengan tidak terbatas, misalnya: al insan yang berarti manusia . Perkataan ini
memiliki pengertian umum , jadi semua manusia termasuk dalam perkataan ini.
Sekali mengucapkan kata al insan sudah meliputi manusia seluruhnya.[6]
Menurut Al Amidi, seorang ulama madzhab
syafii, bahwa lafal umum ialah: هو للفظ الوحد الدال على مسميين فصا عدا مطلقا
معا
Artinya: suatu lafal yang menunjukan dua
hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlaq, hakekat dari definisi ini
ialah lafal yang terdiri dari satu pengertian secara tunggal, tetapi mengandung
beberapa satuan pengertian. [7]
Pendapat lain mengatakan bahwa lafaz ‘Am yaitu
suatu lafaz yang digunakan untuk menunjukan suatu makna yang pantas atau boleh
dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Misal arrijal
lafazh ini meliputi semua laki laki.[8]
Menurut pendapat yang lain lagi bahwa ‘Am
dalam arti kebahasaan adalah menyeluruh, dalam pandangan ulama ushul fiqh yang
dimaksud dengan istilah am adalah kata yang memuat seluruh bagian dari kandungan
lafaz, sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain.
Pada intinya
semua pengertian tentang ‘Am tersebut diatas mempunyai maksud yang sama, Jadi
dapat kita simpulkan bahwa ‘Am ialah “Lafaz yang meliputi pengertian umum, terhadap
semua apa yang termasuk dalam pengertian lafaz itu, dengan hanya disebut
sekaligus.”
B. Sigat Al-‘Am
Ada banyak kata dan bentuknya (shigat) yang
dapat digunakan untuk menunjukan keumuman sesuatu, yaitu
1. Kata Kullu atau Jami atau yang semakna denganya, seperti
firman Allah :
كُلُّ
ٱمۡرِيِٕۢ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ
Artinya : Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya. (QS Ath Thur: 21). خَلَقَ
لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا
Artinya : Dialah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semuanya. ( QS.
Al Baqarah: 29).
2. Isim yang berbentuk jamak dan menggunakan “AL” Al Jins, seperti kata Al-
Muminun dalam firman Allah : قَدۡ
أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman.(Q.S Al Muminun: 1)
3. Bentuk tunggal yang menggunakan “Al” Al-Istighraqy, yakni yang
menunjuk pada ketercakupan semua bagiannya, seperti kata Al-Bai’ dan Ar Riba pada
firman Allah : وَأَحَلَّ
ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
Artinya: Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S Al Baqarah: 275)
4. Bentuk Nakirah dalam konteks larangan, seperti : kata ahad
berbentuk nakirah, sedang sebelumnya ada larangan la tushalli. وَلَا
تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٖ مِّنۡهُم مَّاتَ أَبَدٗا
Artinya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan
(jenazah) seorang yang mati di antara mereka. (Q.S At Taubah: 84).
5.
Asma Al-Maushul, yakni ma, man, al-ladzi, seperti
firman Allah:
وَأُحِلَّ
لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُم
Artinya: … Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (itu).
(Q.S An Nisa: 24).
6.
Asma As-Syareth (man, ma, dan ayyun), seperti: فَمَن
شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُ
Artinya: ... Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.... (Q.S Al Baqarah: 185)
7. Asma Al-Istifham (man, ma, aina, ayyun, dan mata), seperti :
مَّن
ذَا ٱلَّذِي يُقۡرِضُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗا
Artinya: Siapakah yang mau
meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. (Q.S Al Hadid: 11).
8.
Jama’ yang menjadi makrifah karena idhafah seperti kata ummahaatukum
dalam firman Allah: حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; (Q.S An Nisa: 23).
Kata ummahat adalah bentuk jamak dari
kata um, lalu diidhofahkan kepada kum. [9].
C. Dilalah Lafaz Al ‘Am
Para ulama sepakat bahwa lafaz am yang disertai qarinah (indikasi)
yang menunjukan penolakan adanya takshis adalah qathi dilalah. Merekapun
sepakat bahwa lafaz am disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya
itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan
pendapat disini ialah lafaz ‘Am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang
menolak kemungkinan adanya takshis, atau berlaku umum yang mencakup satuan
satuannya.[10]
Menurut Hanafiyah dilalah ‘Am itu qathi, yang
dimaksud Qathi ialah Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu
dalil. Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan adanya takshis sama
sekali. Oleh karena itu , untuk menetapkan ke qathi an lafaz am, pada mulanya
tidak boleh di takshis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takshis maka
dilalahnya Zhanni.[11]
Mereka beralasan, Sesungguhnya suatu lafaz apabila dipasangkan pada
suatu makna, maka makna itu berketatapan yang pasti, sampai ada dalil yang
mengubahnya, lebih tegas lagi mereka mengatakan : Sesungguhnya lafaz ‘Am
merupakan suatu hakikat, karena kosong dari segala yang menunjukan satu makna
khusus. Dan jika suatu lafaz, jika dalam keadaan mutlak, maka menunjukan pada
maknanya yang hakiki, yakni mutlak. Begitu pula lafaz ‘Am yang mutlak dari
suatu indikasi tentang kekhususannya menunjukan pada makna umum, dan tidaklah
berubah dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan dalil.[12]
Menurut jumhur ulama ( Malikiyah, Syafi iyah, dan Hanabilah),
dilalah ‘Am adalah zhanni. Meraka beralasan, dilalah ‘Am itu termasuk bagian
dilalah dzhahir, yang mempunyai kemungkinan di takshis. Dan ini pada lafaz ‘Am
banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan
menyatakan dilalahnya qathi. Sehubungan dengan hal itu, Ibnu Abbas berkata:
Artinya: Dalam Al Quran semua lafaz umum itu ada takshisnya, kecuali firman
Allah, Dan Allah maha Mengetahui atas segala sesuatu.
Oleh karena itu, mereka mengeluarkan suatu kaidah yang berbunyi,
yang Artinya : Tidaklah ada lafaz yang umum kecuali sudah ditakshis.
Ulama Hanafiyah
membantah alasan jumhur, Kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab
timbulnya dari ucapan pembicara, bukan dari dalil.
Dari kedua sikap
ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi mereka masing masing.
Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada perdebatan diantara mereka
dalam beberapa masalah, yaitu diantara lain:
a.
Apakah
boleh lafaz ‘Am yang qathi tsubut di takshih oleh dalil zhanni?
b.
Apabila
ada suatu nash yang menggunakan lafaz ‘Am di suatu tempat dan ditempat lain
menggunakan lafaz khas, yang satu dengan yang lainnya bertentangan. Apakah hal
ini bisa dikatakan sebagai ta’ar bahwa ud (saling bertentangan)?[13]
Pada masalah pertama menurut Asy Syafiiyah dan Ahmad, apabila
pertentangan antara lafaz khas yang terdapat pada khobar ahad dengan lafaz ‘Am Al-Qur’an,
maka khabar ahad itu bisa mentakshis lafaz ‘Am Al-Qur’an. Sekalipun lafaz ‘Am Al-Qur’an
itu qathi tsubutnya, dilalahnya zhanni. Sebaliknya, khas khobar ahad
sesungguhnya zhanni tsubutnya, tetapi qathi dilalahnya, menurut pendapat ini As
sunah dipandang sebagai penjelasan terhadap Al-Qur’an, walaupun khobar ahad.[14]
Menurut Hanafiyah khobar ahad tidak dapat mentakshis Al-Qur’an
kecuali lafaz ‘Am Al-Qur’an itu sebelumnya telah terkena takshis. Mereka
memandang bahwa dilalah ‘Am itu qathi, sepert yang telah diuraikan dimuka, dan
takshis bukan merupakan suatu penjelasan, melainkan pembatalan pemakaian
sebagian satuan lafaz ‘Am, mereka menetapkan bahwa pada lafaz ‘Am itu, kehendak
makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan. Oleh sebab itu
Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena ayat mengenai wudhu,
yaitu surah Al Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan
tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu
karena berdasar hadis yang berbunyi, Artinya : Allah tidak menerima sholat
seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya ( tertib pelaksanaannya ), maka
hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya.
Hadis ini menunjukan keharusan tertib dalam berwudhu. Hanafiyah
memandang tertib itu hanya sunah muakkad saja (Abu Zahrah: 159).[15]
Lain halnya Imam Malik, Sungguhpun memandang bahwa lafaz ‘Am Al
Quran adalah Zhanni, ia tidak selamanya menjadikan khobar ahad dapat mentakshis
lafaz ‘Am Al-Qur’an. Ia kadang kadang berpegang pada lafaz ‘Am Al-Qur’an dan
meninggalkan khabar ahad, namun kadang kadang men takshis lafaz ‘Am Al-Qur’an
dengan khobar ahad.
Misalnya firman Allah, yang artinya : Dan Allah menghalalkan
(menikah) selain itu (yang telah disebut) di takhshis dengan hadis yang
artinya: Wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah
maupun ibu.
Menurut imam Malik, khabar ahad yang men takshis lafaz ‘Am Al-Qur’an
ialah khabar ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan
Qiyas.[16]
Diantara masalah furu yang dipersilahkan akibat perbedaan prinsip
diatas ialah halal tidaknya memakan binatang hasil sembelihan tanpa memakai
bismillah.
Menurut Hanafiyah sembelihan tanpa disertai dengan ucapan bismillah
tidak halal dimakan, mereka berpegang pada ayat:
وَلَا
تَأۡكُلُواْ مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٞۗ
Artinya: Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
( Q.S Al An’am : 121).
Mereka
tidak mau mentakshisnya dengan hadis Rasul yang berbunyi, Artinya: Seorang
muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah( ucapkanlah bismillah)
atau tidak. ( H.R Abu Daud). Sebab hadis ini zhanni wurudnya sekalipun
qathi dilalahnya.[17]
D. Macam-Macam Al-‘Am
Para ulama dalam hal ini membagi ‘Am menjadi
tiga kategori:
1) Al ‘Am Al Istighraqy, yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat
dicakupnya tanpa kecuali, sehingga semua disentuh olehnya, misal: ketentuan
tentang kewajiban wanita yang bercerai untuk melaksanakan ‘iddah (masa
tunggu) selama tiga quru (suci atau haid). Ketentuan ini berlaku untuk segala
bentuk perceraian, kecuali jika ada petunjuk lain yang mengecualikan salah satu
bentuknya. Contoh lain misalnya kata An-nas atau manusia dalam firman Allah :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ
ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ )البقرة :21)
Artinya
: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa.[18]
2) ‘Am Majmuiy, yakni yang tidak mencakup keseluruhan bagian bagiannya satu demi satu,
tetai secara umum saja. Misalnya : kewajiban mempercayai nabi nabi yang di utus
allah, jumlah mereka banyak, namun dua puluh lima nabi yang disebut nama
namanya dalam al-Quran sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi yang banyak
sekali.[19]
3) Al ‘Am Al Badaly, yakni yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang
dicakup oleh lafaz itu. Misalnya : perintah untuk bernafkah kepada fakir
miskin. Memberi seorang siapa saja dari siapapun yang berstastus fakir miskin,
sudah cukup. Karena memang lafaz umum di sini adalah al ‘am
badaly.[20]
Ditetapkan dengan ketetapan nash bahwa ‘am itu terbagi tiga, yaitu:
1)
‘‘Am
yang dimaksud dengan secara qath’i umum, yaitu ‘‘Am yang didampingi oleh
qarinah, menafikan sasaran yang ditaksishkan. Seperti:
وجعلنا من الماء كل شيء حيّ
2)
‘Am yang
dimaksud dengan secara qath’i khusus, yaitu apa yang didampingi dengan qarinah,
pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan maksud sebagian dari ifradnya itu.
Sepert: ولله على الناس حجّ البيت
3)
‘Am makhsus,
yaitu ‘am muthlak yang tidak didampingi oleh qarinah, meniadakan hal-hal yang
ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang menafikan dalilnya terhadap umum. Misalnya
kebanyakan nash yang terdapat padanya sighat umum. Terlepas dari
qarinah-qarinah lafdziah atau aqliah atau harfiah yang menyatakan umum, sebelum
dikemukakan dalil untuk mentakhsisnya. Misalnya, perempuan-perempuan yang
ditalak oleh suaminya harus menunggu (iddah).
Kata
Syaukani dalam memperbedakan antara ‘Am maksudnya khusus dan ‘Am yang
dikhususkan. ‘Am yang dimaksud dengannya khusus yaitu ‘Am yang mendampinginya
ketika mengucapkan kata. Yaitu qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimksudnya
itu adalah khusus. Umpamanya pembicaraan yang dipaksakan berbentuk umum. Yang
dimaksud dengan ‘‘Am di sini adalah khusus dari mereka yang ahli untuk dipaksa
menurut kehendak akal. Tidak termasuk kedalam ini hal ini orang-orang tidak
mukallaf. Misalnya firman Tuhan:
تدمّركلّ شيئ بأمر ربّها[21]
2. Pengertian Khas
Khas adalah lawan kata dari ‘Am atau dengan
kata lain khas adalah lafaz yang tidak bisa digunakan mengikutsertakan banyak
satuannya. Firman allah yang menetapkan masa tunggu wanita yang hamil sampai
dengan kelahiran anaknya , merupakan lafaz yang khusus untuk wanita yang
demikian itu halnya. Tidak mencakup selainnya.[22]
Pengertian yang
lain khas (pengkhususan) ialah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan keumuman ialah
sebagian yang diliputinya. Telah dijelaskan bahwa am itu meliputi seluruh
objeknya.[23]
هو اللفظ
الموضوع لمعنى واحد معلوم على الإنفراد
Artinya: Suatu lafal yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah
diketahui (ma’lum) dan manunggal.
Menurut Al-Badawi,
definisi khash adalah:
كل لفظ وضع
لمعنى واحد على الإنفراد وانقطاع المشاركة
Artinya: Setiap lafal yang dipasangkan pada satu arti yang
menyendiri, dan terhindar dari makna yang lain (musytarak). [24]
Dengan definisi di atas, ia mengeluarkan lafal mutlaq dan musytarak
dari lafal khash, dan bukan pula bagian dari lafal ‘Am. Pendapat ini dipegang
pula oleh sebagian ulama Syafi’iyah[25].Dikatakan pula Khas
adalah lafaz yang tidak mencakup pada lebih banyak dari satu, atau mencakup
pada lebih dari satu akan tetapi dengan adanya batasan.[26]
Jadi, pengertian Khas dari bebagai pendapat di atas adalah memiliki
maksud yang sama, yakni kebalikan dari ‘Am yakni lafaz yang tidak bisa mencakup
secara sekaligus terhadap perkara yang lebih dari satu tanpa menunjukan atas
batasan.
A.
Macam-Macam Khas
1)
Khash
Syakhshi, seperti nama-nama alam:زيد بن محمّد
2)
Khash
Nuu’, seperti: الإنسان
= ialah suatu lafal yang menunjukkan makna
bagi seorang laki-laki yang sudah balig.
3)
Khash
Jinsi, seperti: الإنسان= hewan yang berfikir/berbicara. Itulah
hakikatnya.
4)
Lafal
yang mempunyai beberapa makna bagi zat, seperti :[27]
B.
Dilalah Lafaz Khash
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafaz khas adalah qathi. Namun
mereka berbeda pendapat dalam sifat keqathiannya itu, apakah lafaz khas yang
dipandang qathi dilalahnya itu sudah jelas dengan sendirinya. Sehingga tidak
mempunyai penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafaz khas
itu qathi dilalahnya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan
yang lain.[28]
Golongan Hanafiyah
mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan, Sesungguhnya lafaz khas
sepanjang telah memilki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan
tegas dengan ketentuan lafaz itu sendiri. Seandainya lafaz khas itu masih
mempunyai kemungkinan peruabahan dengan penjelasan lain, pasti keadaan
penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah tertolak.
Sedangakan kedaunya ini tidak bisa diterima.[29]
Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu:
1.
Mereka
menetapkan bahwa lafaz khas itu tidak memerluka penjelasan lain, sehingga dalam
mengambil hukum dari satu dilalah khas, mereka tidak mengambil hadis hadis yang
berhubungan dengan penjelasan lafaz khas sebagai pembantu untuk penjelasannya,
karena menurut mereka, dilalah khasas itu tidak memerlukan penjelasan lain.
2.
Karena
mereka menyatakan bahwa lafaz khas Al-Qur’an itu qathi dilalahnya dan tidak memerlukan
penjelasan, maka setiap perubahan hukum denga nash lain dipandang sebagai
penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu nasikh harus sama kekuatan
dilalahnya dengan khas yang dihapus dilalahnya ( mansukh). Dengan demikian,
apabila tidak sama kekuatan dilalahnya, maka tidak bisa diterima,
konsekuensinya lafaz khas yang qathi itu tidak bisa dihapus denga hadis ahad.
Golongan
Jumhur ulama, antara lain : Syafiiyah dan Malikiyah mengambil pendapat yang
menyatakan bahwa sekalipun lafaz khas itu dilalahnya qathi, namun tetap
mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha nya (asal pemasangannya),
sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilalah khas itu, maka ia
dipandang sebagaia penjelasan terhadap lafaz khas itu[30], dari sikap ini dapat diambil
kesimpulan yang berbeda, dengan pendapat pertama, yakni :
1.
Nash
khas menerima penjelasan dan perubahan
2.
Lafaz
khas Al-Qur’an menurut pandangannya tetap menerima penjelasa dan perubahan.
Maka ia dipandang sebagai lafaz mujmal. Oleh sebab itu, Lafaz khas mungkin saja
berubah melalui penjelasan, sungguhpun penjelasan itu kekuatan dilalahnya dari
segi tsubut lebih rendah dari kekuatan khas itu sendiri, seperti hadis ahad.
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khas
tersebut berpengaruh tehadap beberapa masalah fiqh, misalnya pengertian ruku’
pada ayat :
وَارْ كَعُوْا مَعَ الرّاكِعِيْنَ
Artinya:
Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’
Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku dalam shalat itu bagaimana
Lafaz khas untuk suatu perubahan yang ma’lum, yaitu condong dan berdiri tegak.
Mereka menyatakan bahwa ruku yang diperintahkan pada ayat itu dan merupakan
bagian fardhu sholat adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah.[31]
Adapun hadis yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah:
“Berdirilah dan sholatlah
karena engakau belum sholat.”
Tuma’ninah itu bukan syarat sah shaolat, menurut mereka seandainya
tuma’ninah itu syarat sah sholat, berarti merupakan penambahan atas lafaz khas Al-Qur’an
yang jelas. Dengan sendirinya hal itu termasuk penambahan khobar ahad. Dan
berarti sebagai khobar nasakh, sedangkan penghapus harus sama kekuatan
dilalahnya dari segi wurud dengan mansukhnya. Padahal hadis ahad itu tidak sama
kekuatan khas Al-Qur’an yang qathi, sehingga mereka tidak mensyaratkan
tuma’ninah sebagia syarat ruku’. Dengan kata lain, mereka tidak menjadikan
tuma’ninah sebagai fardhu. Tegasnya yang fardhu itu rukunnya, bukan
tuma’ninahnya.[32]
Golongan Syafiiyah memandang bahwa lafaz khas itu mempunyai
kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari segi ini mereka
mamandang lafaz khas itu sebagai lafaz mujmal. Oleh sebab itu mereka menerima
kemungkinan adanhya perubahan atas lafaz khas yang terdapat dalam Al-Qur’an
dengan hadis ahad yang merupakan penjelasannya. Maka menurut golongan ini
tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap
ayat Al-Qur’an dan termasuk fardhu dalam ruku’.[33]
C.
Sifat-Sifat Lafaz Al-Khas
Sebelum bicara sifat khas, terlebih dahulu mengenal macam lafaz
khas yang mempunyai banyak bentuk,
sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafaz itu sendiri, ia kadang
berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang berbentuk
muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang berentuk amr dan kadang berbentuk
nahy. Dengan demikian macam macam lafaz khas mencakup : mutlaq, muqayyad,
amr, dan nahy.[34]
Lafal yang terdapat pada
nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil
yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti
lain yang tidak berdasar pada dalil, maka keqath’ian dilalahnya tidak
terpengaruhi.[35]
Oleh karena itu, apabila lafal khash dikemukakan dalam bentuk mutlak,
tanpa batasan apapun, maka lafal itu memberi faedah katetapan hukum secara
mutlak, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafal itu dikemukan
dalam bentuk perintah, maka ia memberi faedah berupa hukum wajib bagi yang
diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada
makna yang lain. Demikian juga apabila lafal itu dikemukan dalam bentuk
larangan (nahyi), ia memberikan faedah
berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada
qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.[36]
Atas dasar itu, maka kata salah satu pada firman Allah SWT:
فمن
لم يجد فصيام ثلاثة ايام
Mengandung pengertian khash, yang tidak mungkin mengandung arti
kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafal itu sendiri, yaitu
tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah qatiyah.[37]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Menurut
bahasa ‘Am artinya merata, yang umum, sedang menurut istilah ialah: lafazh yang meliputi pengertian umum ,
terhadap semua apa yang termasuk pengertian lafazh itu, dengan hanya disebut
sekaligus.
Sedangkan Khas adalah lawan kata dari ‘Am, Setiap lafal yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan
terhindar dari makna yang lain (musytarak).
2.
Shigat
‘Am
1)
Kata Kullu atau Jami
2)
Isim yang berbentuk jamak dan menggunakan “AL” Al Jins
3)
Bentuk tunggal yang menggunakan “Al”
Al-Istighraqy
4)
Bentuk Nakirah dalam konteks larangan
5)
Asma Al-Maushul, yakni ma, man, al-ladzi
6)
Asma As-Syareth (man, ma, dan ayyun)
7)
Asma Al-Istifham (man, ma, aina, ayyun, dan mata),
8)
Jama’ yang menjadi makrifah karena idhafah
3.
Dilalah
Al-‘Am Dan Al-Khas
Dilalah
‘Am, Para ulama sepakat bahwa lafaz am yang disertai qarinah
(indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takshis adalah qathi dilalah.
Merekapun sepakat bahwa lafaz am disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang
dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.
Dilalah
Khas, Para ulama sepakat bahwa dilalah
lafaz khas adalah qathi. Namun mereka berbeda pendapat dalam sifat keqathiannya
itu, apakah lafaz khas yang dipandang qathi dilalahnya itu sudah jelas dengan
sendirinya. Sehingga tidak mempunyai penjelasan lain atau perubahan makna,
ataukah sekalipun lafaz khas itu qathi
dilalahnya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.
4.
Macam-Macam
Al-‘Am dan Khas
‘Am terbagi
atas:
1)
‘Am Majmuiy, yakni yang tidak mencakup keseluruhan bagian
bagiannya satu demi satu, tetapi secara umum saja.
2)
Al ‘Am Al Badaly, yakni yang diwakili oleh seorang saja dari
anggota yang dicakup oleh lafaz itu.
3)
Al ‘Am Al Istighraqy, yakni yang mencakup segala sesuatu yang
dapat dicakupnya tanpa kecuali.
Khas terbagi
atas:
1)
Khash
Syakhshi, seperti nama-nama alam:زيد بن محمّد
2)
Khash
Nuu’, seperti: الإنسان = ialah suatu lafal yang
menunjukkan makna bagi seorang laki-laki yang sudah balig.
3)
Khash
Jinsi, seperti: الإنسان= hewan yang berfikir/berbicara. Itulah
hakikatnya.
4)
Lafal
yang mempunyai beberapa makna bagi zat, seperti :عِلْمٌ
5.
Sifat-Sifat
Lafaz Al-Khas
Apabila
lafal khash dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan apapun, maka lafal
itu memberi faedah katetapan hukum secara mutlak, selama tidak ada dalil yang
membatasinya. Dan bila lafal itu dikemukan dalam bentuk perintah, maka ia
memberi faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama
tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila
lafal itu dikemukan dalam bentuk larangan (nahyi), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang
itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan, Dan
Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat Ayat Al Quran), Tangerang:
Lentera Hati, 2013.
Prof.
Dr. Rachmat Syafe’i, M.A, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung; Cv Pustaka Setia,
2010.
Drs, Moh Rivai, Ushul Fiqh, Cet. 6,
Bandung: PT Al Maarif,
1993.
Prof. Dr. Amir Syarifudin, Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum
Islam Secara Konfrehensife, Jakarta, Zikrul Hakim, 2004.
Drs. Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Cet. 1 , Jakarta, PT
Rajawali Pres, 1993.
Syekh Abdul Wahad Khallaf, Ilmu Usul Fikih, Jakarta; PT. Rineka
Cipta, 1993.
Syekh Muhammad
Al Khudhori Beik, Terjemah Ushul Fiqh 1, Pekalongan: Raja Murah, 1982.
M. Kholid Afandi Dan Nailul Huda, Dari Teori Ushul Menuju Fiqh
Ala Tashil Ath Thuruqat, Kediri: Santri Salaf Press, 2013.
Muhammad Hilmi Dan Muhammad Ludrianoor, Makalah ‘Am Dan Khas
Dalam Buku Drs. H.Kahur Masyhur, IAIN Antasari Banjarmasin: 2012.
[1] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan, Dan Aturan
Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat Ayat Al Quran), (Tangerang: Lentera
Hati, 2013) Hal 179-183
[2] Rachmat Syafe’i,Ilmu
Ushul Fiqih, (Bandung; Cv Pustaka Setia, 2010), Hal 193.
[3] Rachmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqih, Hal 193.
[4] Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqih, Hal 193.
[5] Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqih, Hal 193.
[6] Moh Rivai, Ushul Fiqh ( Bandung: PT Al-Maarif,1993, ) Cet Ke 6, Hal 46
[7] Amir Syarifudin, Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam
Secara Konfrehensife ( Jakarta, Zikrul Hakim, 2004), Hal 130
[8] Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, ( Jakarta, PT. Rajawali
Pres, 1993) Cet. 1 Hal 190
[9] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir-Syarat, Ketentuan, Dan Aturan
Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat Ayat Al Quran, (Tangerang:
Lentera Hati, 2013) Hal 179-183
[10] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 194
[11] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 194
[12] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 194
[13] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 196
[14] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 196
[15] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 198
[16] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 198
[17] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 198
[18] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hal 179-180
[19] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hal 180
[20] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hal 179-183
[21] Syekh Abdul Wahad Khallaf, Ilmu Usul Fikih, (Jakarta; PT.
Rineka Cipta, 1993), Hal 229-233.
[22] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hal 179-183
[23] Syekh Muhammad Al Khudhori Beik, Terjemah Ushul Fiqh 1 ( Pekalongan,
Raja Murah, 1982) Hal 211
[24] Syekh Muhammad Al Khudhori Beik, Terjemah Ushul , Hal 211
[25] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 187.
[26] M. Kholid Afandi Dan Nailul Huda, Dari Teori Ushul Menuju Fiqh
Ala Tashil Ath Thuruqat (Kediri,
Santri Salaf Press, 2013) Cet. 1 Hal. 137
[27] Muhammad Hilmi dan Muhammad Ludrianoor, Makalah Am dan Khas
dalam buku Kahur Masyhur ( IAIN Banjarmasin, 2012) hal 10
[28]
Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 189
[29]
Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 189
[30]
Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 190
[31]
Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 191
[32]
Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 191
[33]
Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Hal 192
[34] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 187-189
[35] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 187
[36] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 188
[37] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hal 188
Mantap. hatur nuhun
BalasHapus